Rabu, 27 Maret 2013

Kepingan Masa Lalu


Ia terduduk di tepi ranjang, wajahnya muram dan matanya sembab. Semalaman ia menangisi seseorang yang telah dengan tega meninggalkannya. Entah ini sudah keberapa kalinya ia memandangi potretan dua anak manusia di dalamnya. Didalam foto itu keduanya mengukir senyuman manis sambil berpose ceria menghadap kamera.


Ia mendongakkan wajahnya, menahan air matanya untuk jatuh kembali. Ia menangis lagi. Temannya yang sudah lelah menasihatinya hanya bisa melihat nanar ke arah gadis itu. Pasalnya sudah berkali-kali dia bilang bahwa hidup ini tidak selalu mulus, tapi percayalah bahwa hidup ini pasti ada akhirnya. Gadis itu tidak pernah mendengarkan, pikirannya terlalu kusut untuk mencerna, hatinya tertutup oleh kabut hitam yang pekat.

Seharusnya hari ini ia berangkat kuliah, tapi ia tidak ingin menanggung resiko untuk bertemu dengan ‘orang’ itu. ia terlalu takut, takut untuk melihat wajahnya dan takut bila tiba-tiba air matanya menetes kembali.

Mungkin mengurung diri didalam kamar adalah jalan terbaik. Selain, ia tidak perlu menanggung resiko untuk bertemu dengan ‘dia’ ia juga tidak perlu repot-repot menutup wajahnya yang seperti mayat hidup.

Gadis itu perlahan menghapus cairan bening yang kembali mengalir di pipinya, ia bangkit berdiri untuk mengambil tissue-tissue kotor yang berserakan di lantai kamarnya. Ya, semalam ia menghabiskan persedian tissuenya hanya untuk menghapus buliran-buliran bening dari pipinya.
~~~~
“Kamu mau berangkat ke kampus nggak?” tanya temannya ketika gadis itu keluar dari kamar mandi.
Gadis itu diam sebentar, memandang temannya dengan pandangan kosong –lalu  dia menggeleng “engg kayaknya enggak, bilang aja kalau aku lagi sakit” ujarnya –lalu langsung masuk kedalam kamarnya dan menutup pintu.
Temannya hanya bisa menghembuskan nafas dan menggeleng.
Memang temannya yang satu itu sangat susah untuk dibilangi, bahkan mungkin kepalanya terbuat dari batu sehingga susah untuk dipecahkan.
~~~
15.00 WIB
Suara musik terdengar sangat kencang dari luar rumah itu, bahkan dari jarak 20 M sekalipun. Manusia didalamnya tidak peduli dengan orang-orang yang berteriak dari luar agar ia mengecilkan suara musik itu. Musik bergenre rock-metalic yang bahkan ia baru mendengarkannya sekarang. Ia menemukan setumpukan kaset itu didalam rak milik temannya –tanpa pikir panjang lagi ia langsung menyalakannya dengan volume paling keras.
“Ada apa sih ini?” tiba-tiba terdengar suara temannya yang berteriak.
Gadis itu mendongak untuk melihat wajah temannya itu.
“yang kamu lihat apa?” jawabnya.
“kamu tau nggak Ri? Tadi diluar banyak yang protes dan ngomel-ngomel ke aku gara-gara kamu nyalain musiknya terlalu keras” protes temannya itu
Riri nama gadis itu, menghelakan nafasnya frustasi.
“apa urusannya sama mereka coba Fi? Aku nyalain musik juga gak nge-rugiin mereka kan?” kekeh Riri.
Fina –nama temannya- itu mengepalkan tangannya karena menahan amarah yang mulai memuncak.
“terserah kamu lah Ri, aku capek nasehatin kamu. Urus aja diri kamu sendiri dan kalau perlu kamu itu intropeksi diri, apa salah kamu sama Vino sampai-sampai dia mutusin kamu” bentak Fina, ia pun langsung keluar dari kamar riri sambil membanting pintu.
DEG
Ia mendengar nama itu lagi, nama yang paling ia tidak ingin dengar.
Riri menenggelamkan wajahnya ke bantal, ia frustasi. Sungguh, putus dari orang yang sudah 3 tahun menemanimu itu sulit.
Ketergantungan akan dirinya itu sulit, dan sekarang kamu harus menerima kenyataan bahwa dia tidak lagi bersamamu. Rasanya perih.
Dan bahkan ia juga tidak tahu apa salahnya kepada ‘orang’ itu, ia sudah memikirnya semenjak putus dari ‘orang itu’. apa salahnya? Padahal mereka jarang sekali terlibat pertengkaran yang serius. Paling-paling bertengkar karena meributkan masalah kecil seperti ‘kenapa kamu nungguin aku? Kan aku udah bilang aku ada jam tambahan 2 jam sedangkan kamu udah keluar dari 3 jam yang lalu’ atau ‘jangan minum kopi lagi, lambung kamu kan gak kuat jangan dipaksa’ sehabis itu muncul berbagai argumen yang membuat mereka beradu mulut, tapi setelahnya mereka akan tertawa karena itu adalah hal yang konyol.

Dan kejadian itu terjadi kemarin, saat Riri sedang menunggu Vino di sebuah taman yang sudah biasa mereka singgahi untuk sekedar melepas stress akibat tumpukan tugas yang menggunung.

Vino berjalan ke arah Riri yang sedang tertidur di atas bangku taman, tangganya menumpu kepalanya agar tidak terjatuh. Vino tersenyum, lalu ia segera menghampiri Riri dan menepuk bahunya pelan.
Riri terbangun, kaget.
Ia mendongakan kepalanya, di hadapannya sudah ada Vino yang tersenyum dengan sangat manis. Riri pun tersenyum.
“hey” sapa Riri “ayo sini duduk, ngapain kamu beridiri di situ terus?” Riri menepukan tempat kosong disamping-nya.
Vino pun duduk. Kesekian menit berikutnya mereka hanya terdiam, tenggelam di pikiran masing-masing. Vino meresakan dadanya seperti di tusuk-tusuk saat memikirkan kejadian yang mungkin saja akan di sesalinya.
“sore ini indah kan? Langitnya berwarna oranye” ujar Riri sambil terus mendongakan kepalanya ke atas.
Vino menghela napasnya, ia tidak bisa menengokan kepalanya untuk melihat Riri.
Vino hanya menarik bibirnya, ia akan merindukan suasana seperti ini.
“ekhm” deham Vino.
“ada apa?” tanya Riri. “oh iya, kamu mau ngomong apa?” lanjutnya.
Vino masih belum siap, tapi mau tidak mau dia harus siap.
“aku.....” vino bersuara.
Riri menunggu, jantungnya berdetak seratus kali lebih cepat dari biasanya. Perasaannya tidak enak.
“aku...aku mau kita putus Ri. Maaf, aku rasa memang kita sudah nggak bisa di satukan lagi”
Bagaikan dihantam oleh batu yang begitu besar dan disiram oleh air yang panas, hati Riri begitu sakit dan terbakar.

Ia bisu, ia tidak bisa bersuara sama sekali. Mulutnya terkatup rapat, matanya memanas.
Vino mendongakan kepalanya, ia rasa semuanya sudah cukup, ia tidak ingin menyakiti Riri lebih dalam lagi. Urusannya sudah selesai dan ia harus pergi sekarang juga. Tanpa melihat kearah Riri, dia bangkit dan melangkahkan kakinya menuju mobil yang tidak jauh terparkir dari taman itu.
Sementara Riri masih shock. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, ia tidak ingin menjadi egois, ia sudah memiliki prinsip nya sendiri dan sudah mengatakan kepada Vino bahwa, kalau suata hari Vino ingin putus darinya, ia tidak masalah jika itu baik untuk mereka dan Riri tidak akan mau untuk memutuskan hubungannya terhadap siapapun orang yang ia sayangi.
Perlahan-lahan terdengar suara isakan dari Riri, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Hatinya sakit seperti tercabik-cabik. Semuanya sudah berakhir.
~~~
Sudah 1 minggu berlalu semenjak kejadian itu. Riri sudah masuk kuliah, tapi raganya belum 100% pulih. Hari-harinya menjadi sangat datar, teman-temannya hanya bisa menatap nanar ke arah Riri. Merasa kasihan melihat Riri berubah drastis dari sebelumnya.
Banyak yang menghiburnya agar bisa tertawa kembali, sudah berpuluh-puluh cara yang di laksanakan teman-temannya untuk ‘membangunkan’ Riri dari hati gelapnya itu.
Tapi tetap saja, respon Riri sangat datar.
Suatu hari saat Riri sedang duduk di bangku taman kampus bersama teman-temannya, ia melihat Vino tengah berjalan dengan menenteng buku di kedua tangannya. Vino terlihat sangat sibuk. Pantas saja Riri jarang melihatnya di kampus. Fina yang duduk tepat di samping Riri mengikuti arah pandang sahabatnya itu.
Vino.
“Ri, ke kantin yuk? Haus nih” pinta Fina ke Riri. Riri menengok ke arah Fina dan langsung mengangguk lalu menarik tangan Fina untuk cepat-cepat bangun.
Riri sangat senang saat Fina berusaha mencoba mengalihkan pikirannya terhadap Vino yang –baru saja lewat.
~~~
Hari-hari selanjutnya Riri tidak pernah melihat Vino lagi di kampus, sesibuk itukah Vino? Kenapa ia tidak pernah di beritahu oleh Vino?
Banyak pertanyaan muncul di benak Riri. Tapi, ia langsung menepis semua pertanyaan itu.
“untuk apa aku peduli? Dia aja nggak peduli sama aku” hibur dirinya.
~~~
Hari terus berganti, tak terasa sudah 3 bulan semenjak ia putus dengan Vino. Riri sudah bisa menerima semuanya, wajahnya kembali cerah dam senyumannya hadir kembali setelah sekian lamanya menghilang.
Riri pun sudah tidak memikirkan Vino lagi, pasalnya ada satu orang yang hadir di hidupnya. Fina –temannya- mengenalkan dia ke lelaki itu.
“hey, tebak ini siapa?” tiba-tiba ada orang dari arah belakang yang menutup matanya menggunakan kedua telapak tangan. Riri sedang ada di rumah saat ini dan dia sedang memasak.
Riri tersenyum, “bodoh” ucapnya.
“Apa? Bodoh?” –lelaki itu tiba-tiba melepaskan kedua telapak tangannya sambil protes.
Riri berbalik sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada.
“iya, Haris itu bodoh” ejek Riri.
“awas ya kamu” Haris –nama lelaki itu- langsung menyerang Riri dengan jari-jarinya. Ia menggelitiki Riri karena sudah berani mengataii dirinya bodoh. Riri hanya tertawa saja dengan kelakuan Haris.
“awas ya, kamu nggak akan lolos dari aku hahaha” ancam Haris sambil meniru suara tawaan penyihir.
“hahaha Haris please stop, geli tau” mohon Riri  yang wajahnya sudah memerah karena menahan geli.
Sementara itu Fina –sahabat Riri, hanya tersenyum melihat tingkah laku 2 orang manusia di hadapannya. Fina senang Riri bisa tertawa sekarang.
“ehem” dehem Fina.
Spontan Riri dan Haris langsung berhenti dengan dunia ke kanak-kanakannya itu.
“ada apa Fin?” tanya Riri.
Fina tersenyum “Ada paket tuh” ujarnya.
“Paket apa?” tanya Riri penasaran sambil melangkah keluar dapur.
Fina mengedikan bahunya “nggak tau, nggak ada nama pengirimnya”
Riri yang penasaran langsung merobek bungkusan itu dan membuka isinya.
“Rilakkuma!” teriak Riri histeris.
Fina dan Haris mendekat dengan wajah penasaran.
“Ada nama pengirimnya gak?” tanya Haris sambil memeriksa isi paket itu.
“Eh ada suratnya nih” Lanjut Haris sambil memberikan sepucuk surat berwarna coklat sama dengan warna boneka itu. Hanya tertulis insial ‘V’ di atasnya.
Riri menerimanya dengan rasa tidak karuan “inisialnya ‘v’” gumam Riri nyaris tidak terdengar. Riri menatap Fina meberikan isyarat.
Fina yang mengerti  langsung membawa Haris keluar dari rumah dan mengajaknya untuk membeli ice cream di tempat langganan mereka.
“Udah nggak usah banyak ngomong deh, ikut gue aja lo kan ada utang beliin gue ice cream” Protes Fina sambil menggeret Haris keluar dari rumah, Haris pasrah saja saat di tarik Fina.
Riri membuka surat itu, dirinya sudah was-was. Apa yang di kirim oleh ‘V’  kepada dirinya itu? dan apa maksudnya semua ini?
Saat Riri membuka surat itu, hatinya makin kalut. Tulisannya rapih ciri khas dari Vino. Riri mulai membaca.
Dear, riri
Hai Ri! Apa kabar sekarang? Kabar aku disini baik-baik aja kok hehe^^
Gimana bonekanya? Bagus kan? Aku beli itu 2 pasang sesuai permintaan kamu waktu itu yang mau boneka couple rilakkuma, kamu bilang dulu yang cewek aku pegang dan yang cowok kamu yang pegang kan? Hm tapi aku rasa, aku nggak bisa pegang J
Ri maafin aku ya, maaf....
Aku nggak ngasih kamu penjelasan waktu itu dan langsung ninggalin kamu begitu aja. Aku nggak bermaksud kaya begitu loh Ri, kamu tau betul aku kaya gimana?
Aku cuman nggak mau ngeliat wajah kamu, aku takut aku nggak bisa, aku takut ngeliat wajah kamu yang shock karena ucapan aku. Kalau waktu itu aku ngeliat mungkin aku masih sama kamu sekarang haha tapi kayaknya nggak juga
Kamu tau Ri? 2 bulan ini aku dapat pengalaman yang luar biasa nyusahinnya. Jaga kesehatan kamu ya Ri!
Ri, aku cuman mau pesan satu hal ke kamu
I will always you, although we’re not together again.
Walaupun kita udah nggak sama-sama lagi aku tetap simpan perasaan aku ke kamu di sudut hati aku, aku janji Ri.
You’re handsome ex-boyfriend

Vino
Air mata Riri mengalir dengan deras, hatinya sakit sekaligus perih membaca surat dari Vino. Riri melihat boneka couple itu, ia tersenyum miris.
“Bahkan aku aja lupa Vin sama boneka ini” gumamnya.
Tak lama terdengar suara mobil dari arah luar, Riri buru-buru menghapus air matanya. Ia tidak mau Fina dan Haris melihatnya sedang menangis, terlebih Haris.
Fina masuk rumah dengan wajah yang sulit digambarkan, pandangannya tertuju ke arah Riri yang sedang melihat surat coklat di genggamannya. Haris menyusul di belakang Fina, wajahnya pun sama dengan Fina –tidak tergambarkan-.
Fina mendekati Riri lalu langsung mendekap Riri dalam pelukannya, Haris duduk di sofa sebrang mereka.
“loh ada apa ini?” tanya Riri yang kaget dengan tingkah Fina.
“kalian nggak jadi beli ice cream nya?” kali ini Riri bertanya kepada Haris. Haris menggeleng lemah.
Fina yang sedang mendekap Riri perlahan membuka suaranya.
“Vino Ri...” Ucap Fina dengan suara bergetar.
Riri mersakan aura yang tidak enak ketika mendengar nama itu.
“A...ada apa?”
Fina memegang kedua bahu Riri erat “Janji ya kamu jangan nangis”
Riri mengangguk ragu.
“Ri...... Ri Vino udah dipanggil yang diatas seminggu yang lalu” Jelas Fina.
“bercanda kamu, tau dari mana coba?” Riri tertawa garing.
“Aku nggak bercanda Ri, aku serius... Tadi aku ketemu Rico, temannya Vino. Dia cerita sama aku..” Fina langsung menjelaskan semuanya kepada Riri, mulai dari penyebab Vino meninggal sampai kenapa Vino meminta putus kepada Riri.
Riri langsung terkulai lemas, pandangannya kosong –sama seperti 3 bulan lalu saat dia putus dari Vino. Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Frustasi.
Haris memandang Riri dengan rasa kasihan, ia tahu bagaimana cerita cinta Riri dengan Vino –Fina yang memberi tahu-nya tentang semua kejadian yang di alami Vino dan Riri. Ia khawatir terhadap Riri, ia tidak mau melihat Riri menangis terus karena Vino. Cantik, ya itulah pemikiran Haris ketika pertama bertemu dengan Riri. 3 bulan ini mereka melalui hari-hari bersama, Haris rasa Riri sudah sepenuhnya melupakan Vino, tapi yang dilihatnya sekarang sama sekali berbeda. Kenyatannya Riri masih mengingat Vino dan sekarang setelah Riri mendengar penuturan Fina, Riri terlihat sama seperti sebelum ia bertemu dengan Riri.
Tak lama terdengar suara isakan dari Riri, ia menangis.
Vino sudah pergi jauh, dan Riri tidak akan mungkin bisa bertemu dengan Vino lagi untuk sekedar meminta maaf karena Riri sama sekali tidak tahu dengan penyakit Vino. Coba saja Riri tahu, pasti Riri akan sangat menjaga Vino dan mungkin mereka tidak akan pernah putus kalau memang Riri sudah tahu permasalah Vino. Pasalnya, alasan Vino memutuskan Riri 3 bulan yang lalu adalah karena Vino tidak mau menjadi beban untuk Riri karena penyakitnya ini. Kanker otak.
~~~
Satu tahun lamanya aku hidup tanpa kamu Vin. Kamu tau bagaimana awalnya aku hidup tanpa kamu? Aku rasa lebih baik aku mati daripada terus hidup tanpa kamu. Frustasi sekaligus sakit hati selalu saja merasuki pikiran dan hati aku Vin. Aku benci saat aku mencoba mengingat betapa teganya kamu saat itu yang dengan enaknya mutusin aku. Padahal aku kira kita bakalan kencan, tapi memang itu hanya harapan aku saja. Nyatanya pertemuan kita di taman 1 tahun lalu adalah pertemuan kita yang terakhir sebelum kamu di panggil oleh tuhan.
Bagaimana surga? Nyaman tidak? Kalau nyaman tolong bawa aku juga kesana agar terus berada di samping kamu, menjaga kamu dan melindungi kamu. Maaf...
Maafin aku Vin, karena aku bodoh, aku tolol, aku pacar yang bener-bener nggak tau diri yang sama sekali nggak tau permasalahan kamu.
Kamu ingat nggak boneka ini? Rilakkuma! Aku bahkan sudah lupa dengan boneka lucu ini saat kamu mengirimnya kepadaku. Aku juga tidak tahu kalau itu ternyata pemberian terakhir kamu sebelum kamu pergi ke tempat yang lebih baik di atas sana.
Hatiku sakit untuk menerima kenyataan ini, aku berharap tuhan segera mengambil nyawaku saat itu juga untuk menyusul kamu.
Tapi, Haris sudah mengubah pemikiran aku tentang hal-hal buruk itu semua Vin. Hidup kita akan terus berjalan, tuhan yang menentukan kapan kita akan dipanggil olehnya. Kamu memang masa lalu aku Vin, dan sekarang aku sudah mempunyai masa depan aku. Haris.
Tapi aku janji, sesuai dengan janji kamu juga ‘kamu akan selalu ada di dalam sudut hati aku’. I love you.

FIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar