Ia terduduk di tepi ranjang, wajahnya
muram dan matanya sembab. Semalaman ia menangisi seseorang yang telah dengan
tega meninggalkannya. Entah ini sudah keberapa kalinya ia memandangi potretan
dua anak manusia di dalamnya. Didalam foto itu keduanya mengukir senyuman manis
sambil berpose ceria menghadap kamera.
Ia mendongakkan wajahnya, menahan air
matanya untuk jatuh kembali. Ia menangis lagi. Temannya yang sudah lelah
menasihatinya hanya bisa melihat nanar ke arah gadis itu. Pasalnya sudah
berkali-kali dia bilang bahwa hidup ini tidak selalu mulus, tapi percayalah
bahwa hidup ini pasti ada akhirnya. Gadis itu tidak pernah mendengarkan,
pikirannya terlalu kusut untuk mencerna, hatinya tertutup oleh kabut hitam yang
pekat.
Seharusnya hari ini ia berangkat
kuliah, tapi ia tidak ingin menanggung resiko untuk bertemu dengan ‘orang’ itu.
ia terlalu takut, takut untuk melihat wajahnya dan takut bila tiba-tiba air
matanya menetes kembali.
Mungkin mengurung diri didalam kamar
adalah jalan terbaik. Selain, ia tidak perlu menanggung resiko untuk bertemu
dengan ‘dia’ ia juga tidak perlu repot-repot menutup wajahnya yang seperti
mayat hidup.
Gadis itu perlahan menghapus cairan
bening yang kembali mengalir di pipinya, ia bangkit berdiri untuk mengambil
tissue-tissue kotor yang berserakan di lantai kamarnya. Ya, semalam ia
menghabiskan persedian tissuenya hanya untuk menghapus buliran-buliran bening
dari pipinya.
~~~~
“Kamu mau berangkat ke kampus nggak?”
tanya temannya ketika gadis itu keluar dari kamar mandi.
Gadis itu diam sebentar, memandang
temannya dengan pandangan kosong –lalu
dia menggeleng “engg kayaknya enggak, bilang aja kalau aku lagi sakit”
ujarnya –lalu langsung masuk kedalam kamarnya dan menutup pintu.
Temannya hanya bisa menghembuskan
nafas dan menggeleng.
Memang temannya yang satu itu sangat
susah untuk dibilangi, bahkan mungkin kepalanya terbuat dari batu sehingga
susah untuk dipecahkan.
~~~
15.00 WIB
Suara musik terdengar sangat kencang
dari luar rumah itu, bahkan dari jarak 20 M sekalipun. Manusia didalamnya tidak
peduli dengan orang-orang yang berteriak dari luar agar ia mengecilkan suara
musik itu. Musik bergenre rock-metalic yang bahkan ia baru mendengarkannya
sekarang. Ia menemukan setumpukan kaset itu didalam rak milik temannya –tanpa
pikir panjang lagi ia langsung menyalakannya dengan volume paling keras.
“Ada apa sih ini?” tiba-tiba terdengar
suara temannya yang berteriak.
Gadis itu mendongak untuk melihat
wajah temannya itu.
“yang kamu lihat apa?” jawabnya.
“kamu tau nggak Ri? Tadi diluar banyak
yang protes dan ngomel-ngomel ke aku gara-gara kamu nyalain musiknya terlalu
keras” protes temannya itu
Riri nama gadis itu, menghelakan
nafasnya frustasi.
“apa urusannya sama mereka coba Fi?
Aku nyalain musik juga gak nge-rugiin mereka kan?” kekeh Riri.
Fina –nama temannya- itu mengepalkan
tangannya karena menahan amarah yang mulai memuncak.
“terserah kamu lah Ri, aku capek
nasehatin kamu. Urus aja diri kamu sendiri dan kalau perlu kamu itu intropeksi
diri, apa salah kamu sama Vino sampai-sampai dia mutusin kamu” bentak Fina, ia pun
langsung keluar dari kamar riri sambil membanting pintu.
DEG
Ia mendengar nama itu lagi, nama yang
paling ia tidak ingin dengar.
Riri menenggelamkan wajahnya ke
bantal, ia frustasi. Sungguh, putus dari orang yang sudah 3 tahun menemanimu
itu sulit.
Ketergantungan akan dirinya itu sulit,
dan sekarang kamu harus menerima kenyataan bahwa dia tidak lagi bersamamu.
Rasanya perih.
Dan bahkan ia juga tidak tahu apa
salahnya kepada ‘orang’ itu, ia sudah memikirnya semenjak putus dari ‘orang
itu’. apa salahnya? Padahal mereka jarang sekali terlibat pertengkaran yang
serius. Paling-paling bertengkar karena meributkan masalah kecil seperti
‘kenapa kamu nungguin aku? Kan aku udah bilang aku ada jam tambahan 2 jam
sedangkan kamu udah keluar dari 3 jam yang lalu’ atau ‘jangan minum kopi lagi,
lambung kamu kan gak kuat jangan dipaksa’ sehabis itu muncul berbagai argumen
yang membuat mereka beradu mulut, tapi setelahnya mereka akan tertawa karena
itu adalah hal yang konyol.
Dan kejadian itu terjadi kemarin, saat
Riri sedang menunggu Vino di sebuah taman yang sudah biasa mereka singgahi
untuk sekedar melepas stress akibat tumpukan tugas yang menggunung.
Vino
berjalan ke arah Riri yang sedang tertidur di atas bangku taman, tangganya
menumpu kepalanya agar tidak terjatuh. Vino tersenyum, lalu ia segera
menghampiri Riri dan menepuk bahunya pelan.
Riri
terbangun, kaget.
Ia
mendongakan kepalanya, di hadapannya sudah ada Vino yang tersenyum dengan
sangat manis. Riri pun tersenyum.
“hey”
sapa Riri “ayo sini duduk, ngapain kamu beridiri di situ terus?” Riri menepukan
tempat kosong disamping-nya.
Vino
pun duduk. Kesekian menit berikutnya mereka hanya terdiam, tenggelam di pikiran
masing-masing. Vino meresakan dadanya seperti di tusuk-tusuk saat memikirkan
kejadian yang mungkin saja akan di sesalinya.
“sore
ini indah kan? Langitnya berwarna oranye” ujar Riri sambil terus mendongakan
kepalanya ke atas.
Vino
menghela napasnya, ia tidak bisa menengokan kepalanya untuk melihat Riri.
Vino
hanya menarik bibirnya, ia akan merindukan suasana seperti ini.
“ekhm”
deham Vino.
“ada
apa?” tanya Riri. “oh iya, kamu mau ngomong apa?” lanjutnya.
Vino
masih belum siap, tapi mau tidak mau dia harus siap.
“aku.....”
vino bersuara.
Riri
menunggu, jantungnya berdetak seratus kali lebih cepat dari biasanya.
Perasaannya tidak enak.
“aku...aku
mau kita putus Ri. Maaf, aku rasa memang kita sudah nggak bisa di satukan lagi”
Bagaikan
dihantam oleh batu yang begitu besar dan disiram oleh air yang panas, hati Riri
begitu sakit dan terbakar.
Ia
bisu, ia tidak bisa bersuara sama sekali. Mulutnya terkatup rapat, matanya
memanas.
Vino
mendongakan kepalanya, ia rasa semuanya sudah cukup, ia tidak ingin menyakiti Riri
lebih dalam lagi. Urusannya sudah selesai dan ia harus pergi sekarang juga.
Tanpa melihat kearah Riri, dia bangkit dan melangkahkan kakinya menuju mobil
yang tidak jauh terparkir dari taman itu.
Sementara
Riri masih shock. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, ia tidak ingin menjadi
egois, ia sudah memiliki prinsip nya sendiri dan sudah mengatakan kepada Vino
bahwa, kalau suata hari Vino ingin putus darinya, ia tidak masalah jika itu
baik untuk mereka dan Riri tidak akan mau untuk memutuskan hubungannya terhadap
siapapun orang yang ia sayangi.
Perlahan-lahan
terdengar suara isakan dari Riri, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya. Hatinya sakit seperti tercabik-cabik. Semuanya sudah berakhir.
~~~
Sudah 1 minggu berlalu semenjak
kejadian itu. Riri sudah masuk kuliah, tapi raganya belum 100% pulih.
Hari-harinya menjadi sangat datar, teman-temannya hanya bisa menatap nanar ke
arah Riri. Merasa kasihan melihat Riri berubah drastis dari sebelumnya.
Banyak yang menghiburnya agar bisa
tertawa kembali, sudah berpuluh-puluh cara yang di laksanakan teman-temannya
untuk ‘membangunkan’ Riri dari hati gelapnya itu.
Tapi tetap saja, respon Riri sangat
datar.
Suatu hari saat Riri sedang duduk di
bangku taman kampus bersama teman-temannya, ia melihat Vino tengah berjalan
dengan menenteng buku di kedua tangannya. Vino terlihat sangat sibuk. Pantas
saja Riri jarang melihatnya di kampus. Fina yang duduk tepat di samping Riri
mengikuti arah pandang sahabatnya itu.
Vino.
“Ri, ke kantin yuk? Haus nih” pinta
Fina ke Riri. Riri menengok ke arah Fina dan langsung mengangguk lalu menarik
tangan Fina untuk cepat-cepat bangun.
Riri sangat senang saat Fina berusaha
mencoba mengalihkan pikirannya terhadap Vino yang –baru saja lewat.
~~~
Hari-hari selanjutnya Riri tidak
pernah melihat Vino lagi di kampus, sesibuk itukah Vino? Kenapa ia tidak pernah
di beritahu oleh Vino?
Banyak pertanyaan muncul di benak
Riri. Tapi, ia langsung menepis semua pertanyaan itu.
“untuk apa aku peduli? Dia aja nggak
peduli sama aku” hibur dirinya.
~~~
Hari terus berganti, tak terasa sudah
3 bulan semenjak ia putus dengan Vino. Riri sudah bisa menerima semuanya,
wajahnya kembali cerah dam senyumannya hadir kembali setelah sekian lamanya
menghilang.
Riri pun sudah tidak memikirkan Vino
lagi, pasalnya ada satu orang yang hadir di hidupnya. Fina –temannya-
mengenalkan dia ke lelaki itu.
“hey, tebak ini siapa?” tiba-tiba ada
orang dari arah belakang yang menutup matanya menggunakan kedua telapak tangan.
Riri sedang ada di rumah saat ini dan dia sedang memasak.
Riri tersenyum, “bodoh” ucapnya.
“Apa? Bodoh?” –lelaki itu tiba-tiba
melepaskan kedua telapak tangannya sambil protes.
Riri berbalik sambil mendekapkan kedua
tangannya di depan dada.
“iya, Haris itu bodoh” ejek Riri.
“awas ya kamu” Haris –nama lelaki itu-
langsung menyerang Riri dengan jari-jarinya. Ia menggelitiki Riri karena sudah
berani mengataii dirinya bodoh. Riri hanya tertawa saja dengan kelakuan Haris.
“awas ya, kamu nggak akan lolos dari
aku hahaha” ancam Haris sambil meniru suara tawaan penyihir.
“hahaha Haris please stop, geli tau”
mohon Riri yang wajahnya sudah memerah
karena menahan geli.
Sementara itu Fina –sahabat Riri,
hanya tersenyum melihat tingkah laku 2 orang manusia di hadapannya. Fina senang
Riri bisa tertawa sekarang.
“ehem” dehem Fina.
Spontan Riri dan Haris langsung
berhenti dengan dunia ke kanak-kanakannya itu.
“ada apa Fin?” tanya Riri.
Fina tersenyum “Ada paket tuh”
ujarnya.
“Paket apa?” tanya Riri penasaran
sambil melangkah keluar dapur.
Fina mengedikan bahunya “nggak tau,
nggak ada nama pengirimnya”
Riri yang penasaran langsung merobek
bungkusan itu dan membuka isinya.
“Rilakkuma!” teriak Riri histeris.
Fina dan Haris mendekat dengan wajah
penasaran.
“Ada nama pengirimnya gak?” tanya
Haris sambil memeriksa isi paket itu.
“Eh ada suratnya nih” Lanjut Haris
sambil memberikan sepucuk surat berwarna coklat sama dengan warna boneka itu.
Hanya tertulis insial ‘V’ di atasnya.
Riri menerimanya dengan rasa tidak
karuan “inisialnya ‘v’” gumam Riri nyaris tidak terdengar. Riri menatap Fina
meberikan isyarat.
Fina yang mengerti langsung membawa Haris keluar dari rumah dan
mengajaknya untuk membeli ice cream di tempat langganan mereka.
“Udah nggak usah banyak ngomong deh,
ikut gue aja lo kan ada utang beliin gue ice cream” Protes Fina sambil
menggeret Haris keluar dari rumah, Haris pasrah saja saat di tarik Fina.
Riri membuka surat itu, dirinya sudah
was-was. Apa yang di kirim oleh ‘V’
kepada dirinya itu? dan apa maksudnya semua ini?
Saat Riri membuka surat itu, hatinya
makin kalut. Tulisannya rapih ciri khas dari Vino. Riri mulai membaca.
Dear,
riri
Hai
Ri! Apa kabar sekarang? Kabar aku disini baik-baik aja kok hehe^^
Gimana
bonekanya? Bagus kan? Aku beli itu 2 pasang sesuai permintaan kamu waktu itu
yang mau boneka couple rilakkuma, kamu bilang dulu yang cewek aku pegang dan
yang cowok kamu yang pegang kan? Hm tapi aku rasa, aku nggak bisa pegang J
Ri
maafin aku ya, maaf....
Aku
nggak ngasih kamu penjelasan waktu itu dan langsung ninggalin kamu begitu aja.
Aku nggak bermaksud kaya begitu loh Ri, kamu tau betul aku kaya gimana?
Aku
cuman nggak mau ngeliat wajah kamu, aku takut aku nggak bisa, aku takut ngeliat
wajah kamu yang shock karena ucapan aku. Kalau waktu itu aku ngeliat mungkin
aku masih sama kamu sekarang haha tapi kayaknya nggak juga
Kamu
tau Ri? 2 bulan ini aku dapat pengalaman yang luar biasa nyusahinnya. Jaga
kesehatan kamu ya Ri!
Ri,
aku cuman mau pesan satu hal ke kamu
I
will always you, although we’re not together again.
Walaupun
kita udah nggak sama-sama lagi aku tetap simpan perasaan aku ke kamu di sudut
hati aku, aku janji Ri.
You’re
handsome ex-boyfriend
Vino
Air mata Riri mengalir dengan deras,
hatinya sakit sekaligus perih membaca surat dari Vino. Riri melihat boneka
couple itu, ia tersenyum miris.
“Bahkan aku aja lupa Vin sama boneka
ini” gumamnya.
Tak lama terdengar suara mobil dari
arah luar, Riri buru-buru menghapus air matanya. Ia tidak mau Fina dan Haris
melihatnya sedang menangis, terlebih Haris.
Fina masuk rumah dengan wajah yang
sulit digambarkan, pandangannya tertuju ke arah Riri yang sedang melihat surat
coklat di genggamannya. Haris menyusul di belakang Fina, wajahnya pun sama
dengan Fina –tidak tergambarkan-.
Fina mendekati Riri lalu langsung
mendekap Riri dalam pelukannya, Haris duduk di sofa sebrang mereka.
“loh ada apa ini?” tanya Riri yang
kaget dengan tingkah Fina.
“kalian nggak jadi beli ice cream
nya?” kali ini Riri bertanya kepada Haris. Haris menggeleng lemah.
Fina yang sedang mendekap Riri
perlahan membuka suaranya.
“Vino Ri...” Ucap Fina dengan suara
bergetar.
Riri mersakan aura yang tidak enak
ketika mendengar nama itu.
“A...ada apa?”
Fina memegang kedua bahu Riri erat
“Janji ya kamu jangan nangis”
Riri mengangguk ragu.
“Ri...... Ri Vino udah dipanggil yang
diatas seminggu yang lalu” Jelas Fina.
“bercanda kamu, tau dari mana coba?”
Riri tertawa garing.
“Aku nggak bercanda Ri, aku serius...
Tadi aku ketemu Rico, temannya Vino. Dia cerita sama aku..” Fina langsung
menjelaskan semuanya kepada Riri, mulai dari penyebab Vino meninggal sampai
kenapa Vino meminta putus kepada Riri.
Riri langsung terkulai lemas,
pandangannya kosong –sama seperti 3 bulan lalu saat dia putus dari Vino. Dia
mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Frustasi.
Haris memandang Riri dengan rasa
kasihan, ia tahu bagaimana cerita cinta Riri dengan Vino –Fina yang memberi
tahu-nya tentang semua kejadian yang di alami Vino dan Riri. Ia khawatir
terhadap Riri, ia tidak mau melihat Riri menangis terus karena Vino. Cantik, ya
itulah pemikiran Haris ketika pertama bertemu dengan Riri. 3 bulan ini mereka
melalui hari-hari bersama, Haris rasa Riri sudah sepenuhnya melupakan Vino,
tapi yang dilihatnya sekarang sama sekali berbeda. Kenyatannya Riri masih
mengingat Vino dan sekarang setelah Riri mendengar penuturan Fina, Riri
terlihat sama seperti sebelum ia bertemu dengan Riri.
Tak lama terdengar suara isakan dari
Riri, ia menangis.
Vino sudah pergi jauh, dan Riri tidak
akan mungkin bisa bertemu dengan Vino lagi untuk sekedar meminta maaf karena Riri
sama sekali tidak tahu dengan penyakit Vino. Coba saja Riri tahu, pasti Riri
akan sangat menjaga Vino dan mungkin mereka tidak akan pernah putus kalau
memang Riri sudah tahu permasalah Vino. Pasalnya, alasan Vino memutuskan Riri 3
bulan yang lalu adalah karena Vino tidak mau menjadi beban untuk Riri karena
penyakitnya ini. Kanker otak.
~~~
Satu tahun lamanya aku hidup tanpa
kamu Vin. Kamu tau bagaimana awalnya aku hidup tanpa kamu? Aku rasa lebih baik
aku mati daripada terus hidup tanpa kamu. Frustasi sekaligus sakit hati selalu
saja merasuki pikiran dan hati aku Vin. Aku benci saat aku mencoba mengingat
betapa teganya kamu saat itu yang dengan enaknya mutusin aku. Padahal aku kira
kita bakalan kencan, tapi memang itu hanya harapan aku saja. Nyatanya pertemuan
kita di taman 1 tahun lalu adalah pertemuan kita yang terakhir sebelum kamu di
panggil oleh tuhan.
Bagaimana surga? Nyaman tidak? Kalau
nyaman tolong bawa aku juga kesana agar terus berada di samping kamu, menjaga
kamu dan melindungi kamu. Maaf...
Maafin aku Vin, karena aku bodoh, aku
tolol, aku pacar yang bener-bener nggak tau diri yang sama sekali nggak tau
permasalahan kamu.
Kamu ingat nggak boneka ini?
Rilakkuma! Aku bahkan sudah lupa dengan boneka lucu ini saat kamu mengirimnya
kepadaku. Aku juga tidak tahu kalau itu ternyata pemberian terakhir kamu
sebelum kamu pergi ke tempat yang lebih baik di atas sana.
Hatiku sakit untuk menerima kenyataan
ini, aku berharap tuhan segera mengambil nyawaku saat itu juga untuk menyusul
kamu.
Tapi, Haris sudah mengubah pemikiran
aku tentang hal-hal buruk itu semua Vin. Hidup kita akan terus berjalan, tuhan
yang menentukan kapan kita akan dipanggil olehnya. Kamu memang masa lalu aku
Vin, dan sekarang aku sudah mempunyai masa depan aku. Haris.
Tapi aku janji, sesuai dengan janji
kamu juga ‘kamu akan selalu ada di dalam
sudut hati aku’. I love you.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar